Agatha

 


Siang itu, di ruang Sekretariat UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Satria tampak sedang membaca - baca buku untuk persiapan ujiannya. Sementara Hendra, wakilnya tampak sibuk membuat laporan hasil liputan. Namun, sedari tadi ponsel milik Satria terus berdenting. Pemuda ini hanya melihatnya sekilas,  lalu kembali melanjutkan membaca buku. Seakan sengaja mengabaikan semua pesan yang masuk.

"Satria, angkat dong ponselnya. Aku tidak bisa fokus bikin berita kalau bunyi terus," Protes Hendra.

Satria kemudian mengambil ponselnya, dan tanpa melihat siapa yang menghubunginya, Ia langsung mematikan ponsel dan menggeletakan kembali di atas meja, lalu kembali fokus pada buku tebalnya. Hendra meliriknya sekilas, lalu membetulkan kacamatanya.

"Siapa yang menghubungi kamu?" Tanya Hendra dengan tangan yang masih mengetik.

"Siapa lagi,"

Mendengar itu, Hendra langsung menghentikan pekerjaannya dan melihat ke arah Satria. Kemudian mencoba menebak siapa yang di maksud oleh Satria. "Agatha?".

"Iya," Jawab Satria.

Hendra hanya mengehela nafas, dan kembali melanjutkan pekerjaannya. Tapi, sesekali matanya melihat ke arah Satria. "Sat.. Apakah tidak terlalu kejam, jika kamu harus mengacuhkan Agatha. Dia kan bagian dari anggota UKM kita. Kontribusinya juga bagus." Tanya Hendra.

Satria meletakan bukunya, hal inilah yang menjadi dilema nya selama ini. Sebagai ketua umum dari UKM Majalah Mahasiswa. Tidak mungkin Ia harus mengacuhkan Agatha terus menerus. Tetapi, jika Ia memberikan kesempatan atau cela untuk bisa berkomunikasi Ia merasa terganggu.  

"Jujur ya, itu yang Aku bingungkan Hen," Perkataan Satria membuat Hendra menggerakan kursi hidrolik miliknya mendekat kepada Satria.

"Apa yang kamu bingung kan? Bingung mau ngomong kalau dia annoying," tebak Hendra lagi.

"Yes, it's true.” Jawab Satria sambil menjentikan jarinya. “Sekarang lihat, hampir di semua sosmed ku Agatha follow dan semua postingan pasti ada komentarnya. Belum lagi dia sering DM, chat, bahkan dia hafal jadwal online ku. Sudah semacam stalker," keluh Satria.

Hendra mencoba memahami suasana hati Satria. Tapi, di satu sisi dia tahu jika Agatha tidak bermaksud seperti itu. "Saranku, kamu coba ngomong baik - baik dengannya. Pasti dia akan paham." Kata Hendra, yang kemudian mematikan laptop miliknya. "Ayo pulang, atau kamu ingin disini?"

Satria segera mengambil barang-barangnya dan mengikuti wakilnya untuk pulang. Tapi, pintu sekretariat tiba - tiba terbuka dan tampak Agatha baru tiba. Dengan senyum lebar, dia menghampiri Satria dan memberikan laporannya.

"Taruh sana saja," Kata Satria dengan datar.

"Kakak mau pulang?? Boleh aku ikut sampai jalan besar? Boleh ya kak," pinta Agatha dengan penuh harap.

Satria hanya memandangnya dan melenggang pergi tanpa ada jawaban. Hendra yang melihat itu hanya menggelengkan kepalanya.

"Mau pulang sama aku?" Hendra coba menawarkan dirinya.

"Boleh kah kak?" Agatha memastikan kembali.

"Boleh lah, yuk..,"

Mereka berdua pun berjalan menuju parkiran. Dan disana sudah ada Satria yang mau pulang, dengan membonceng Sandra salah seorang anggotanya juga.

"Pulang dulu Hen, Tha," pamit Satria.

"Yo.." sahut Hendra. Sementara Agatha hanya tersenyum sedih melihat Satria yang memilih pulang bersama Sandra dari pada dirinya. Agatha mencoba untuk menguatkan dirinya dan mencoba untuk tetap tersenyum.

***

Di atas motor, Agatha hanya terdiam. Tidak ada kalimat keluar dari bibirnya. Matanya hanya menatap setiap motor dan mobil yang berlalu lalang. Berusaha memahami situasi yang terjadi. Entah mengapa, hatinya merasa jika Satria tidak suka kepadanya. Padahal, selama ini dirinya merasa jika Satria adalah sosok kakak yang dia idam - idamkan selama ini.

"Aku antar sampai panti ya," Hendra mencoba menawarkan diri.

"Kak Hendra, apakah kak Satria tidak menyukaiku? Padahal selama ini aku kan menganggapnya seperti kakak sendiri,” Ucap Agatha dengan suara bergetar. Sementara Hendra hanya bisa terdiam, dia tidak bisa menjawab pertanyaannya.

Hendra tahu, jika Agatha hanya menganggap Satria hanya sebatas kakak tidak lebih. Karena, Agatha memang dibesarkan di panti asuhan. Kedua orang tuanya dan kakaknya meninggal karena kecelakaan ketika Agatha masih kecil. Ditambah lagi dia sudah tidak memiliki siapa - siapa lagi. Bersyukur di panti asuhan banyak yang menyayanginya.

Ketika masuk perkuliahan, pertama kali melihat Satria, Agatha sudah mengaguminya. Sosok Satria seperti kakaknya dulu. Tapi, karena Agatha yang sangat ingin dekat dengannya membuat seolah-olah Agatha sedang menguntit Satria.

“Jika kak Hendra terdiam, berarti itu benar? Selama ini apa aku terlalu annoying untuk Kak Satria? Apakah aku tidak boleh punya sahabat atau menganggapnya kakak karena aku tidak cantik dan aku hanyalah anak panti yang tidak jelas asal - usulnya?" desak Agatha.

"Tha! Sudah! Tidak ada yang berfikiran seperti itu. Jangan terlalu overthinking. Kamu berhak menerima kasih sayang itu. Hanya saja.. hanya…” Hendra berusaha memberikan kata - kata yang tidak membuatnya bersedih. “Satria hanya tidak paham situasinya. Dia sebetulnya orang yang peduli kok, sudah sekarang jangan berfikir yang tidak - tidak.” Lanjut Hendra. Dengan segera, Hendra melajukan motornya menuju daerah Barat. Tempat panti asuhan Agatha tinggal.

Setelah tiga puluh menit, Hendra tiba di panti asuhan. Di sana dia melihat sepasang suami Istri yang bukan berasal dari Indonesia. Wajah mereka seperti orang Jerman yang tampak sedang menunggu sesuatu.

“Agatha…!” Seru Wanita Bule itu saat melihat Agatha di depan gerbang, dan langsung berlari untuk memeluknya. “Wei geht es dir, mein kind? Vermisse dich, mein Schatz ( bagaimana kabarmu, Nak? Ibu merindukanmu, sayang ),” lanjutnya.

“Mir geht es gut, Ma. Ich vermisse dich auch, Mama ( Kabar ku baik Ma, aku juga merindukan mu, Ma )” Jawab Agatha. 

Hendra melihat pemandangan itu hanya bisa terpaku. Karena bingung dengan situasi yang ada di hadapannya. Perempuan paruh baya itu tersenyum ke arah Hendra, lalu berbisik kepada Agatha.

“Ist dieser Mann dein Freund, mein kind ( Apakah pria ini pacarmu, Nak )?”

“Nein, Mama. Er ist Agatha kommilitone. (Bukan, Mama. Dia teman kuliah Agatha).” Jawab Agatha. “Kak kenalkan Beliau ini adalah Ibu angkatku. Namanya Ibu Maria,” Agatha memperkenalkan Ibunya kepada Hendra.

Hendra menjabat tangan ibu angkat Agatha sambil tersenyum, dia tidak berani memulai pembicaraan terlebih dahulu karena tidak bisa berbahasa Jerman. Memahami kesulitan yang di hadapi Hendra, Agatha meminta Ibunya untuk menunggunya di dalam. Maria pun menyapa Hendra dan kemudian masuk ke dalam panti.

“Tha.. kamu kok tidak pernah cerita jika memiliki orang tua angkat.” Ucap Hendra dengan nada shock.

“Yah, tidak apa – apa kak. Karena bagi ku itu tidak penting untuk diceritakan. Aku tidak ingin anak-anak kampus mendekatiku karena orang tua angkatku apalagi kakak angkat ku.” Jawab Agatha sambil menunjuk seorang pria muda berwajah tampan sedang asik mengobrol dengan Ibu panti dan kedua orang tuanya.

“Sejak kapan Tha?”

Agatha pun menceritakan jika, dia sudah diangkat anak sejak kecil. Hanya saja dia memilih untuk pulang kembali ke Indonesia. Dan, selama terpisah dengan keluarga angkatnya, komunikasi mereka hanya melalui telephone dan Video call.

“Tapi, sepertinya sudah tidak ada lagi yang bisa aku pertahankan disini kak.”Ujar Agatha.

“Maksudnya, kamu mau pindah ke Jerman? Tapi, apa tidak bahaya Tha. Nanti kalau kamu ada apa - apa bagaimana?” Ucap Hendra dengan nada kuatir.

Agatha tersenyum dan mengusap tangan Hendra. “Kalau aku ada apa - apa, sudah dari kecil kak, kan aku sempat tinggal dengan mereka di Jerman beberapa tahun. Tapi, aku meminta pulang Ketika duduk di bangku SMA. Ya walaupun mereka merasa berat melepaskan aku sih.”

“Kapan kamu pindah?” tanya Hendra.

“Setelah ujian semester ini,” jawaban Agatha membuat mata Hendra terbelalak. Akhir semester ini berarti dua bulan lagi. “Aku sudah mempersiapkan semua jauh-jauh hari. Jadi tolong jangan ceritakan ini kepada anak - anak ya kak, termasuk kak Satria.” Lanjutnya.

“Iya,”

Setelah itu Hendra berpamitan kepada Agatha dan keluarga angkat Agatha serta Ibu panti. Hendra merasa legah jika Agatha menemukan keluarga yang menyayanginya dengan tulus. Tapi, hatinya merasa sesak karena harus berpisah dengan gadis ceria dan selalu mengatakan “Semangat Mas e,”.

***

Dua bulan setelah kejadian itu, Agatha sudah berusaha untuk tidak menghubungi atau melihat media sosial milik Satria. Dia tidak ingin kesalahpahaman membuatnya terlihat aneh di mata Satria. Jadi, setiap kali bertemu Satria, Agatha memilih untuk ‘menyapanya singkat lalu pergi.

Di bulan pertama, Satria merasa ada yang berbeda dari Agatha, tetapi memang ini yang dia harapkannya, yaitu terbebas dari Agatha. Namun lambat laun, melihat Agatha yang benar - benar berhenti untuk menghubunginya lagi membuat Satria merasa kehilangan sesuatu. Ponselnya menjadi lebih sepi tanpa notifikasi dari Agatha.

Hingga di suatu sore, Satria tidak sengaja melihat Hendra dan Agatha yang sedang makan di kantin. Dari wajahnya Agatha, tampak dia lebih bahagia. Satria mempercepat langkahnya menuju kantin, dan setibanya di sana dia duduk di depan Agatha dan mencoba menyapanya terlebuh dahulu.

 “Hallo Tha, Hen. Berdua saja nih,”

"Iya lah, tumben kamu kesini, biasanya kan -,” Hendra terhenti lalu melirik ke arah Agatha yang memilih sibuk dengan bukunya, seakan tidak mau tahu dengan percakapan mereka.

"Tha, untuk liputan kemarin, apa ada masalah?" tanya Satria mencoba untuk mengubah arah pembicaraan mereka.

Agatha memandang Satria dengan tersenyum, kemudian menutup bukunya dan memasukannya ke dalam Tas, sambil melihat notifikasi di ponselnya. "So far so good, tidak ada masalah. Aku juga sudah minta tolong Kak Hendra, jadi aman.” Setelah itu dia bangkit dari duduknya dan berpamitan dengan Hendra dan Satria.

“Kok buru – buru Tha?” tanya Satria

"Mau pulang, karena sudah di jemput,” Agatha mulai memakai tas ranselnya. “Lagi pula, bukannya kakak akan terganggu jika aku ada disini. Ketika hendak melangkah, Satria bangkit dari tempat duduknya dan mencekal tangan Agatha. "Maaf, aku sudah melakukan kesalahan besar padamu. Tapi, apa kita tidak bisa dekat seperti dulu?"

Agatha menatap Satria dengan datar, lalu senyum kecil tersungging di bibirnya. “Sepertinya sudah tidak bisa kak, maaf. Bukankah ini harapan Kak Satria. Sekarang aku sudah pergi kakak malah menarik ku kembali. Maaf aku sudah melepas semua, Kak," jawab Agatha pelan.

Dari arah tempat parkir Mobil, tampak seorang pria muda melambaikan tangan ke arah Agatha sambil berjalan mendekat ke arah nya. “Agatha, Komm, wir gehen nach hause. Mama wartet schon (Agatha ayo, kita pulang, Mama sudah menunggu),”

“Okay, Bruder (Oke kak),”

Ketika hendak pergi, lagi – lagi Satria menarik tangan Agatha. Beruntung ada Hendra disana. Jadi, Agatha dan kakaknya bisa kembali tanpa ada yang menghalagi lagi. Sementara Hendra mencoba untuk menenangkan Satria dan menjelaskan jika pemuda yang bersama dengan Agatha adalah Noah, kakak angkatnya. Mendengar itu, Satria cukup terkejut.

"Kok dia tidak pernah cerita?"

"Memangnya kalau dia cerita, kamu peduli? Bukannya kamu sering mengabaikan pesannya. Apa sekarang sudah mulai merasa kehilangan?" sindir Hendra.

"Bukan seperti itu!" sanggah Satria.

"Lantas apa?" timpal Hendra. "Sat, asal kamu tahu, ada orang yang ingin dekat denganmu bukan berarti dia suka atau cinta kepada mu. Bisa jadi dia hanya kagum. Rasa kagum yang disalah pahami bisa berubah menjadi kesalahpahaman yang melukai hati. Seperti halnya Agatha. Dia ingin dekat denganmu karena melihat sosok seorang kakak dalam dirimu, bukan karena dia menyukaimu," jelas Hendra.

Satria memandang Hendra dengan bingung, berusaha mencerna penjelasan dari sahabatnya. "Jadi maksud kamu, Agatha bukan menyukai ku, tapi hanya kagum?"

 "Iya, dia hanya mengagumimu."

 "Tidak mungkin, jelas-jelas dia mendekati aku karena suka," tegas Satria.

"Kagum dan cinta perbedaannya sangat tipis. Itu mengapa, aku pernah berkata padamu, untuk bicara baik - baik dan kamu bisa mengkonfirmasi, bukan malah termakan asumsi yang akan menyesatkan hati," ucap Hendra sambil menggeleng – gelengkan kepalanya.

Satria terdiam, menatap Hendra dengan harapan besar di matanya. Dia tahu Hendra dekat dengan Agatha, dan mungkin dia bisa membantunya. “Hendra, tolong bantu aku. Aku tidak mau semuanya berakhir begini saja,” kata Satria, suaranya terdengar nyaris putus asa.

Hendra menggeleng pelan. Wajahnya menunjukkan ekspresi bersalah, tetapi ia tetap teguh pada pendiriannya. “Maaf, aku tidak bisa, Satria. Karena, ini bukan tempatku untuk bicara.”

Satria mengerutkan kening, merasa frustrasi. “Kenapa, Hendra? Aku cuma mau memperbaiki semuanya.”

Hendra menatap sahabatnya dengan berat hati. "Aku ngerti, Satria. Aku tahu kamu tulus mau memperbaiki hubungan kalian. Tapi maaf,”

Satria terdiam, mencoba memahami. “Jadi, aku cuma harus duduk diam dan membiarkan semuanya berlalu begitu aja?” suara Satria terdengar lirih, nyaris tidak terdengar.

Hendra menepuk bahu Satria dengan lembut. “Terkadang, jawaban tidak selalu datang dari orang lain, Satria. Mungkin, kamu perlu cari sendiri jawabannya. Kalau Agatha memang penting buatmu, temui dan berbicara langsung kepadanya. Tapi, jika dia tidak siap, tolong jangan di paksa,”

Kata - kata Hendra menancap dalam di hati Satria. Meskipun Hendra tidak memberinya jawaban yang ia harapkan, setidaknya ia tahu apa yang harus dilakukan: ia harus menemui Agatha sendiri dan mencari kejelasan langsung darinya.

Di sepanjang perjalanan pulang, pikiran Satria dipenuhi bayangan wajah Agatha. Ia mengingat semua momen di mana ia salah memahami sikapnya, semua kesempatan yang mungkin ia sia - siakan. 

***

Selama beberapa hari, Satria berusaha mencari cara untuk bertemu dengan Agatha. Namun, setiap kali dia mencoba menghubunginya, pesan - pesannya tidak dibalas. Bahkan saat dia mencoba menemui Agatha di kampus atau tempat - tempat biasa mereka bertemu, gadis itu seolah menghilang. Keadaan seakan berbalik.

Dua bulan berlalu tanpa kabar. Satria mulai merasa putus asa, berpikir bahwa Agatha mungkin tidak ingin bertemu dengannya lagi. Dia benar – benar frustasi dan merasa kesepian tanpa adanya Agatha. Namun, siapa sangka, suatu sore yang tenang, pesan dari Agatha tiba di ponselnya:

“Bisa ketemu besok? Ada yang mau aku sampaikan.”

Hati Satria berdegup kencang. Meski tidak tahu apa yang akan terjadi, dia merasa senang karena akhirnya bisa bertemu Agatha. Dia berharap ini menjadi kesempatan untuk memperbaiki segalanya.

Keesokan harinya, mereka bertemu di sebuah taman dekat kampus, tempat yang biasa mereka datangi bersama anggota UKM. Agatha datang dengan senyum tipis di wajahnya, tetapi Satria bisa melihat ada sesuatu yang mengganjal di balik senyum itu.

“Maaf kak kalau aku jarang aktif di UKM,” kata Agatha, membuka pembicaraan.

“Tidak apa – apa Tha, Yang penting sekarang kita bisa bertemu,” jawab Satria, mencoba menyembunyikan kegugupannya.

Agatha mengangguk pelan, lalu mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya. Dia menyerahkannya kepada Satria tanpa banyak bicara.

“Apa ini?” tanya Satria sambil membuka amplop itu. Di dalamnya, Satria menemukan surat pengunduran diri dari UKM yang selama ini dia ketuai, lengkap dengan tanda tangan Agatha di bawahnya. Jantungnya seolah berhenti berdetak saat membaca surat itu.

“Agatha... kenapa ini?” tanyanya dengan nada penuh kebingungan.

Agatha menarik napas panjang sebelum menjawab. “Aku harus berhenti, Kak. Aku tidak bisa lagi aktif di UKM... atau di kampus.”

“Tapi kenapa? Ini terlalu mendadak,” ujar Satria dengan nada memohon. “Kalau ini soal kita, aku minta maaf. Aku tahu aku salah, tapi tolong jangan ambil keputusan seperti ini.”

Agatha menatap Satria dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Setelah beberapa detik terdiam, dia akhirnya menjelaskan. “Aku akan pindah, Kak. Seminggu lagi aku akan berangkat ke Jerman. Aku akan menetap di sana bersama keluargaku yang baru.”

Perkataan itu membuat Satria terpaku. Dia tidak tahu harus berkata apa. Semua yang selama ini dia takutkan ternyata benar adanya. “Kenapa kamu tidak bilang apa - apa selama ini?” Satria bertanya dengan suara bergetar.

“Aku tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Karena, aku tidak mau kamu jadi terbeban atau merasa bersalah karena sikapku selama ini,” jawab Agatha. “Keputusan ini sudah lama aku pikirkan, dan aku rasa ini yang terbaik untukku.”

Satria merasa hatinya hancur. Dia memandang Agatha dengan penuh penyesalan. “Tapi... apakah kamu benar - benar yakin mau meninggalkan semuanya?”

Agatha tersenyum tipis. “Aku yakin, kak. Tapi aku tetap berterima kasih atas semua kenangan yang pernah kita buat di sini. UKM itu, Kak Satria, dan teman-teman lain... kalian adalah bagian penting dari hidupku. Tapi sekarang, aku harus melangkah ke tempat baru.”

Satria mencoba untuk memohon lagi, tapi dia tahu, keputusan Agatha sudah bulat. Tidak ada yang bisa dia lakukan kecuali menerima kenyataan ini.

“Kalau itu yang terbaik untukmu... aku cuma bisa berharap kamu bahagia di sana,” katanya dengan suara penuh rasa kehilangan.

Agatha tersenyum, kali ini dengan air mata yang menetes. “Terima kasih, Kak Satria.”

Satria menggenggam surat pengunduran diri dari UKM itu dengan tangan yang bergetar. Hatinya terasa remuk mendengar keputusan Agatha. Namun, dia tetap mencoba mencari harapan di tengah situasi yang menghimpitnya.

“Agatha... apa aku benar - benar nggak berarti apa - apa buatmu?” tanyanya, suaranya lirih, penuh luka yang tak bisa disembunyikan.

Agatha memandang Satria dengan mata yang tenang. Dia menarik napas panjang, lalu berkata dengan nada yang lembut tetapi tegas, “Kak, tidak semua kedekatan mengarah pada ketertarikan akan hati. Tapi tak apa,” lanjut Agatha, kali ini suaranya sedikit bergetar. “Terima kasih sudah mengajariku apa artinya kesepian, Berkat itu, aku akhirnya bisa berdamai dengan kesepian itu sendiri.”

Satria terpukul, karena dari kesalahpahaman ini berdampak besar bagi dirinya dan Agatha. Ia ingin membantah, dan mengatakan bahwa semua yang terjadi adalah kesalahpahaman, tapi kata-kata Agatha terasa terlalu dalam untuk disangkal.

“Agatha, aku... aku tidak pernah bermaksud membuatmu merasa seperti itu,” kata Satria, suaranya serak. “Aku cuma... aku terlalu bodoh untuk menyadari apa yang benar-benar penting.”

Agatha tersenyum tipis, meskipun air matanya mulai menetes. “Kamu nggak bodoh, Kak. Kamu hanya manusia, sama seperti aku. Kita punya harapan, rasa takut, dan kesalahan masing - masing. Tapi ini bukan tentang siapa yang salah atau benar. Ini tentang bagaimana aku harus melangkah ke depan, meskipun itu berarti meninggalkan semua yang pernah kuanggap rumah.”

Satria mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di matanya. Dia ingin bicara, ingin memohon, tapi dia tahu kata - katanya tidak akan mengubah keputusan Agatha.

Di dalam rasa bersalah dan keputusasaannya, satria berkata “kalau itu yang terbaik untukmu, aku tidak akan menahanmu lagi. Dan aku berharap kamu bahagia di sana.”

Agatha mengangguk. “Terima kasih, Kak. Aku berharap Kakak tetap semangat,”

Mereka berdua terdiam, membiarkan suasana hening melingkupi mereka untuk beberapa saat. Di tengah keheningan itu, Satria menyadari bahwa perpisahan ini bukan hanya tentang kehilangan seseorang yang berarti, tetapi juga pelajaran untuk memahami dan menerima diri sendiri.

Dalam keheningan yang menggantung, Satria akhirnya bertanya, “Kapan kamu berangkat ke Jerman?”

Agatha menatapnya sebentar sebelum menjawab, “Besok siang, aku sudah harus berangkat.”

Hati Satria terasa semakin berat mendengar itu. Namun, ia tidak ingin membiarkan perpisahan ini berlalu begitu saja. “Baiklah,” katanya pelan. “Boleh aku mengantarmu ke bandara?”

Agatha sempat terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. “Silakan, aku tidak melarangnya. 


***

Hari keberangkatan pun tiba, Satria datang ke bandara bersama Hendra. Mereka berdua menunggu di area keberangkatan hingga akhirnya Agatha tiba bersama orang tua dan saudara angkatnya.

Ketika melihat Agatha datang bersama keluarga barunya, Satria merasa dadanya sesak. Namun, ia mencoba menenangkan dirinya. Ia mendekati Agatha dengan senyum samar dan melirik keluarga yang berdiri di sampingnya.

Agatha memperkenalkan mereka satu per satu. Keluarga Agatha tersenyum ramah, dan suasana di antara mereka terasa cukup hangat. Namun, ketika waktu keberangkatan semakin dekat, Satria tahu dia harus mengatakan sesuatu sebelum semuanya terlambat.

“Agatha,” panggilnya pelan. Agatha menoleh, menatap Satria dengan mata yang tenang.

“Aku... aku ingin minta maaf sekali lagi. Aku tahu aku sudah salah paham denganmu selama ini. Dan aku sadar, aku belum bisa jadi kakak yang baik buatmu, seseorang yang bisa kamu andalkan. Maafkan aku untuk semuanya.”

Agatha tersenyum kecil, tapi ada kesedihan di matanya. “Kakak tidak perlu meminta maaf, yang lalu biarlah berlalu. Sekarang fokus untuk hal baik yang ada di depan. Masa lalu hanya sebagai pengingat saja, bukan penentu.”

Satria hanya mengangguk, menerima setiap kata yang diucapkan Agatha. Hendra berdiri di sampingnya, memberikan tepukan lembut di bahunya, seolah memberi dukungan dalam diam.

Saat pengumuman penerbangan Agatha dipanggil, gadis itu langsung memeluk  Hendra dan Satria sambil berkata “Terima kasih untuk semuanya, Jaga diri kalian ya.”

“Kamu juga ya Tha, baik-baik di sana,” jawab Satria dengan suara pelan.

“Bye..bye Agatha,” sahut Hendra sembari melambaikan tangan.

Dengan langkah mantap, Agatha berjalan menuju pemeriksaan keamanan, meninggalkan mereka di belakang. Satria hanya bisa memandang punggungnya yang semakin jauh, hingga akhirnya hilang di balik keramaian bandara. Di dalam hatinya, Satria merasakan campuran rasa kehilangan dan penyesalan. Namun, dia tahu ini adalah jalan yang harus dilalui, baik oleh dirinya maupun Agatha.

Hendra menepuk bahunya sekali lagi. “Ayo, Sat. Kita pulang.”

Satria mengangguk pelan, kemudian berbalik meninggalkan area keberangkatan dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Tapi, di setiap perjumpaan selalu ada perpisahan. Baik itu hanya sementara atau selamanya.

“Agatha.. sayonara,”

 


 

Das Ende

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpi si Panjul

Selepas Kau Pergi